Cerita Ali bin Abi Thalib
Sepengal kisah yang mengulas tentang cerita Ali bin Abi Thalib, saudara, menantu dan sekaligu sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah khalifah keempat, dimana beliau ini adalah orang yang paling mencintai ukhuwwah islamiyah. Cerita ini bermula saat beliau baru saja memegang tampuk pemerintahan. Beberapa tokoh sahabat melakukan pemberontakan. Ada beberapa pemimpin Muhajirin yang meminta ijin melakukan umrah, namun ternyata mereka bergabung dengan pasukan pembangkang.
Cerita Ali bin Abi Thalib – Kisah Sahabat Rasulullah yang mencintai ukhuwwah islamiyah |
Cerita Ali bin Abi Thalib
Menurut hukum Islam, pembangkang haruslah diperangi. Namun Ali bin Abi Thalib lebih memilih pendekatan persuasif. Beliau mengirim beberapa orang utusan untuk menyadarkan mereka. Beberapa pucuk surat juga sudah dikirimkan dengan tujuan yang sama. Namun upaya tersebut gagal karena kebebalan dan kehitaman hati para pembangkang. Lama kelamaan, jumlah pasukan pemberontak semakin membengkak dan mereka menuju Basra.
Cerita Ali bin Abi Thalib – Dengan perasaan yang berat hati, Ali menghimpun pasukan. Beliau mempimpin sendiri pasukan tersebut menuju Basra. Ketika beliau sampai di perbatasan Basra, yakni di suatu tempat yang bernama Alzawiyah, beliau turun dari kuda dan melakukan shalat empat rakaat. Setelah usai shalat, beliau merebahkan pipinya diatas tanah dan air mata beliau mengalir begitu saja membasahi tanah di bawahnya. Beliau lantas mengangkat tangan dan berdoa kepada Allah.
“Ya Allah, yang memelihara langit dan apa-apa yang dinaunginya. Yang memelihara bumi dan apa-apa yang ditumbuhkannya. Wahai Tuhan pemilik ‘arasy nan agung, inilah Basra. Aku mohon kepada-Mu kebaikan kota ini. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya. Ya Allah, masukkanlah aku ke temapt masuk yang baik, karena Engkaulah sebaik-baiknya yang menempatkan orang. Ya Allah, mereka telah membangkang aku, menentang aku dan memutuskan bay’ah-ku. Ya Allah, peliharalah darah kaum Muslim.”
Setelah itu perjalanan dilanjutkan. Saat kedua pasukan mendekat, untuk terakhir kalinya Ali mengirim Abdullah ibn Abbas menemui pemimpin pasukan pembangkang untuk tidak berperang dan bersatu kembali, tanpa menumpahkan darah. Namun usaha ini tetap saja gagal. Lalu Ali berbicara di depan sahabat-sahabatnya sambil memegang mushaf Al-Quran di tangan kanannya.
“Siapa diantara kalian yang mau membawa mushaf ini ke tengah-tengah musuh. Sampaikanlah pesan perdamaian atas nama Al-Quran ini. Jika tangan terpotong, peganglah dengan tangan lain, jika tangan itupun terpotong, maka gigitlah dengan gigi hingga terbunuh”
Seorang anak muda Kufah bangkit menawarkan diri. Namun melihat usianya yang terlalu muda, Ali tidak menghiraukannya. Beliau menawarkan kepada sahabat-sahabat yang lain, namun tak seorangpun menjawab. Akhirnya beliau menyerahkan Al-Quran itu kepada anak muda itu dan mengatakan kepadanya.
“Bawalah Al-Qur’an ini ke tengah-tengah mereka. Katakan: Al-Qur’an berada di tengah-tengah kita. Demi Allah, janganlah kalian menumpahkan darah kami dan darah kalian.”
Dengan penuh keberanian, pemuda itu berdiri di tengah pasukan musuh. Ia mengangkat Al-Quran itu dengan kedua tangannya dan berteriak menghimbau sesuai dengan petunjuk Ali. Teriakannya tak didengar, justru tebasan pedang yang melayang hingga pada akhirnya pemuda tersebut tewas dengan kepala terpenggal, persis seperti yang Ali katakan.
“Sampai juga saatnya kita harus memerangi mereka. Tetapi aku nasihatkan kepada kalian, janganlah kalian memulai menyerang mereka. Jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah mengganggu orang yang terluka, dan janganlah mengejar orang yang lari. Jangan membuka aurat mereka. Jangan merusak tubuh orang yang terbunuh. Bila kalian mencapai perkampungan mereka janganlah membuka yang tertutup, jangan memasuki rumah tanpa izin, janganlah mengambil harta mereka sedikit pun. Jangan menyakiti perempuan walaupun mereka mencemoohkan kamu. Jangan mengecam pemimpin mereka dan orang-orang saleh di antara mereka.”
Dan sejarah mencatat bahwa peperangan hari itu dimenangkan oleh pasukan Ali bin Abi Thalib.
Semoga cerita ali bin abi thalib di atas dapat memberi kita inspirasi, meniru sikap sikap baik dari sahabat rasulullah.
Menurut hukum Islam, pembangkang haruslah diperangi. Namun Ali bin Abi Thalib lebih memilih pendekatan persuasif. Beliau mengirim beberapa orang utusan untuk menyadarkan mereka. Beberapa pucuk surat juga sudah dikirimkan dengan tujuan yang sama. Namun upaya tersebut gagal karena kebebalan dan kehitaman hati para pembangkang. Lama kelamaan, jumlah pasukan pemberontak semakin membengkak dan mereka menuju Basra.
Cerita Ali bin Abi Thalib – Dengan perasaan yang berat hati, Ali menghimpun pasukan. Beliau mempimpin sendiri pasukan tersebut menuju Basra. Ketika beliau sampai di perbatasan Basra, yakni di suatu tempat yang bernama Alzawiyah, beliau turun dari kuda dan melakukan shalat empat rakaat. Setelah usai shalat, beliau merebahkan pipinya diatas tanah dan air mata beliau mengalir begitu saja membasahi tanah di bawahnya. Beliau lantas mengangkat tangan dan berdoa kepada Allah.
“Ya Allah, yang memelihara langit dan apa-apa yang dinaunginya. Yang memelihara bumi dan apa-apa yang ditumbuhkannya. Wahai Tuhan pemilik ‘arasy nan agung, inilah Basra. Aku mohon kepada-Mu kebaikan kota ini. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya. Ya Allah, masukkanlah aku ke temapt masuk yang baik, karena Engkaulah sebaik-baiknya yang menempatkan orang. Ya Allah, mereka telah membangkang aku, menentang aku dan memutuskan bay’ah-ku. Ya Allah, peliharalah darah kaum Muslim.”
Setelah itu perjalanan dilanjutkan. Saat kedua pasukan mendekat, untuk terakhir kalinya Ali mengirim Abdullah ibn Abbas menemui pemimpin pasukan pembangkang untuk tidak berperang dan bersatu kembali, tanpa menumpahkan darah. Namun usaha ini tetap saja gagal. Lalu Ali berbicara di depan sahabat-sahabatnya sambil memegang mushaf Al-Quran di tangan kanannya.
“Siapa diantara kalian yang mau membawa mushaf ini ke tengah-tengah musuh. Sampaikanlah pesan perdamaian atas nama Al-Quran ini. Jika tangan terpotong, peganglah dengan tangan lain, jika tangan itupun terpotong, maka gigitlah dengan gigi hingga terbunuh”
Seorang anak muda Kufah bangkit menawarkan diri. Namun melihat usianya yang terlalu muda, Ali tidak menghiraukannya. Beliau menawarkan kepada sahabat-sahabat yang lain, namun tak seorangpun menjawab. Akhirnya beliau menyerahkan Al-Quran itu kepada anak muda itu dan mengatakan kepadanya.
“Bawalah Al-Qur’an ini ke tengah-tengah mereka. Katakan: Al-Qur’an berada di tengah-tengah kita. Demi Allah, janganlah kalian menumpahkan darah kami dan darah kalian.”
Dengan penuh keberanian, pemuda itu berdiri di tengah pasukan musuh. Ia mengangkat Al-Quran itu dengan kedua tangannya dan berteriak menghimbau sesuai dengan petunjuk Ali. Teriakannya tak didengar, justru tebasan pedang yang melayang hingga pada akhirnya pemuda tersebut tewas dengan kepala terpenggal, persis seperti yang Ali katakan.
“Sampai juga saatnya kita harus memerangi mereka. Tetapi aku nasihatkan kepada kalian, janganlah kalian memulai menyerang mereka. Jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah mengganggu orang yang terluka, dan janganlah mengejar orang yang lari. Jangan membuka aurat mereka. Jangan merusak tubuh orang yang terbunuh. Bila kalian mencapai perkampungan mereka janganlah membuka yang tertutup, jangan memasuki rumah tanpa izin, janganlah mengambil harta mereka sedikit pun. Jangan menyakiti perempuan walaupun mereka mencemoohkan kamu. Jangan mengecam pemimpin mereka dan orang-orang saleh di antara mereka.”
Dan sejarah mencatat bahwa peperangan hari itu dimenangkan oleh pasukan Ali bin Abi Thalib.
Semoga cerita ali bin abi thalib di atas dapat memberi kita inspirasi, meniru sikap sikap baik dari sahabat rasulullah.
Sumber : http://ceritaislami.net/kisah-cerita-ali-bin-abi-thalib-dan-ukhuwwah/