Cerita islami, kisah Sahabat Rasulullah Zaid Bin Haritsah Sang panglima kesayangan Rasulullah
Namanya Zaid. Ibunya bernama Su’da, sedangkan ayahnya bernama Haritsah. Orang-orang memanggilnya Zaid bin Haritsah. Sosoknya diceritakan berperawakan biasa, agak pendek, kulitnya cokelat kemerah-merahan, dan hidungnya terlalu pesek untuk ukuran hidung orang Arab. Tentang kapan dan dimana Zaid lahir, tidak ada catatan sejarah yang benar-benar tegas menyebutkannya. Yang pasti, Zaid dikenal sebagai salah seorang pahlawan agung lslam yang kesetiaan dan pembelaannya terhadap Rasulullah tidak diragukan lagi.
Sejak kecil Zaid sudah harus berpisah dengan kedua orang tuanya. Ceritanya bermula ketika Su’da berencana mengunjungi keluarganya di kampung Bani Ma’an dan bermaksud mengajak Zaid serta. Adapun ayah Zaid, Haritsah, tidak ikut serta karena ada keperluan lain yang tak kalah pentingnya. Dia berpikir bahwa cukup baginya menitipkan anak dan istrinya kepada rombongan kafilah yang hendak berangkat ke sana. Haritsah tidak pernah tahu bahwa keputusannya itu akan menjadi awal bencana bagi keluarganya. Demikian pula Su’da, apalagi Zaid yang masih bocah. Kafilah berangkat, dan Haritsah melepas kepergian istri dan anaknya dengan sebuah salam perpisahan. Tak lupa, dia juga berpesan kepada istrinya agar berhati-hati di jalan.
“lstriku, jagalah putra kita dengan baik, dan hati-hatilah di perjalanan.” Kata Haritsah dengan dada sesak. Diciumnya kening putranya dengan penuh kasih sayang. Sampai detik itu, Haritsah belum tahu bahwa pertemuan itu merupakan detik-detik perpisahan dengan anaknya. “Ya, suamiku. Aku pasti akan menjaga Zaid dengan baik.” Jawab Su’da sambil tersenyum.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya Su’da dan Zaid sampai di kampung Bani Ma’an. Mereka disambut dengan gembira oleh sanak keluarga yang memang sudah sangat merindukan mereka. Su’da sendiri juga merasakan kerinduan yang sama, sehingga dia berniat tinggal agak lama di sana. Apalagi saat dilihatnya Zaid sangat menikmati suasana kampung kecil yang terletak di perbatasan Arab dan Syam itu. Zaid yang masih kecil tampak asyik bermain dengan anak-anak sebayanya.
Namun, keceriaan dan kesenanSan Su’da maupun Zaid tidak berlangsung lama. Suatu hari menjelang subuh, sepasukan perampok Badui yang ganas tiba-tiba datang menyerbu kampung Bani Ma’an. Penduduk kampung Bani Ma’an masih tidur lelap saat para perampok menyerang, sehingga mereka sama sekali tidak mampu melawan. Akibatnya, kampung Bani Ma’an porak-poranda. Semua orang lari tunggang-langgang menyelamatkan diri, karena para perampok itu tidak hanya mengambil harta benda. Seperti kebiasaan yang berlangsung di kalangan masyarakat Arab jahiliah, para perampok Badui itu juga menangkap orang-orang untuk dijual sebagai budak
Di antara hasil tangkapan mereka adalah bocah kecil Zaid bin Haritsah. Sebenarnya Su’da sudah berusaha mati-matian melindungi anaknya, namun apa daya para perampok Badui yang ganas mengambil Zaid dari dekapannya dengan paksa. Su’da diancam dengan pedang, lalu dia dipukul dan didorong hingga jatuh terjerembab ke tanah.
Zaid yang direnggut dari ibunya tentu saja berusaha memberontak. Dengan sekuat tenaga dia meronta dan menjerit. Kedua tangannya memukul-mukul sekenanya, sementara kedua kakinya menendang sekuat-kuatnya. Tetapi apalah arti rontaan, pukulan, dan tendangan seorang bocah kecil bagi seorang perampok dewasa yang kuat lagi ganas. Tanpa kesulitan, Zaid pun dibawa paksa oleh para perampok itu. Sementara Su’da hanya bisa menangisi ketidakberdayaannya. Su’da menjambaki rambutnya sendiri sambil menangis sejadi-jadinya, pertanda bahwa dia sangat menyesali kejadian itu dan menyalahkan dirinya yang tidak bisa menjaga amanat suaminya. Kesedihan dan penyesalan yang tidak terperikan itu membuat Su’da jatuh pingsan.
Setelah sadar dari pingsannya, Su’da memutuskan untuk segera pulang ke kampung halamannya. Dia merasa harus menyampaikan berita ini secepatnya kepada Haritsah. Dia tidak ingin Haritsah mengetahui kabar itu dari orang lain. Segera Su’da berkemas, kemudian berpamitan kepada keluarganya. Dengan berat hati mereka mengizinkan Su’da pulang sambil terus menghiburnya agar tetap sabar dan tabah.
Su’da pulang dengan mengendarai untanya melewati gurun pasir yang sangat panas dan gersang. Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya Su’da tiba di rumahnya. Haritsah berlari keluar menyambut kedatangannya dengan kerinduan seorang suami dan seorang ayah.
“Oh, kamu sudah pulang, Su’da. Tapi mengapa wajahmu tampak sedih? Mana anak kita?” tanya Haritsah demi dilihatnya Su’da datang sendirian tanpa disertai Zaid.
Ditanya begitu oleh suaminya, tangis Su’da meledak. Dengan terbata-bata dan sesekali diiringi isak tangis, dia menceritakan semua kejadian yang dia alami kepada suaminya. Diceritakannya semua kejadian itu dengan runtut, tanpa ditambah maupun dikurangi. Mendengar cerita itu, Haritsah langsung menangis hingga jatuh pingsan.
Namanya Zaid. Ibunya bernama Su’da, sedangkan ayahnya bernama Haritsah. Orang-orang memanggilnya Zaid bin Haritsah. Sosoknya diceritakan berperawakan biasa, agak pendek, kulitnya cokelat kemerah-merahan, dan hidungnya terlalu pesek untuk ukuran hidung orang Arab. Tentang kapan dan dimana Zaid lahir, tidak ada catatan sejarah yang benar-benar tegas menyebutkannya. Yang pasti, Zaid dikenal sebagai salah seorang pahlawan agung lslam yang kesetiaan dan pembelaannya terhadap Rasulullah tidak diragukan lagi.
Sejak kecil Zaid sudah harus berpisah dengan kedua orang tuanya. Ceritanya bermula ketika Su’da berencana mengunjungi keluarganya di kampung Bani Ma’an dan bermaksud mengajak Zaid serta. Adapun ayah Zaid, Haritsah, tidak ikut serta karena ada keperluan lain yang tak kalah pentingnya. Dia berpikir bahwa cukup baginya menitipkan anak dan istrinya kepada rombongan kafilah yang hendak berangkat ke sana. Haritsah tidak pernah tahu bahwa keputusannya itu akan menjadi awal bencana bagi keluarganya. Demikian pula Su’da, apalagi Zaid yang masih bocah. Kafilah berangkat, dan Haritsah melepas kepergian istri dan anaknya dengan sebuah salam perpisahan. Tak lupa, dia juga berpesan kepada istrinya agar berhati-hati di jalan.
Zaid Bin Haritsah : Panglima Kesayangan Rasulullah - bagian pertama |
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya Su’da dan Zaid sampai di kampung Bani Ma’an. Mereka disambut dengan gembira oleh sanak keluarga yang memang sudah sangat merindukan mereka. Su’da sendiri juga merasakan kerinduan yang sama, sehingga dia berniat tinggal agak lama di sana. Apalagi saat dilihatnya Zaid sangat menikmati suasana kampung kecil yang terletak di perbatasan Arab dan Syam itu. Zaid yang masih kecil tampak asyik bermain dengan anak-anak sebayanya.
Namun, keceriaan dan kesenanSan Su’da maupun Zaid tidak berlangsung lama. Suatu hari menjelang subuh, sepasukan perampok Badui yang ganas tiba-tiba datang menyerbu kampung Bani Ma’an. Penduduk kampung Bani Ma’an masih tidur lelap saat para perampok menyerang, sehingga mereka sama sekali tidak mampu melawan. Akibatnya, kampung Bani Ma’an porak-poranda. Semua orang lari tunggang-langgang menyelamatkan diri, karena para perampok itu tidak hanya mengambil harta benda. Seperti kebiasaan yang berlangsung di kalangan masyarakat Arab jahiliah, para perampok Badui itu juga menangkap orang-orang untuk dijual sebagai budak
Di antara hasil tangkapan mereka adalah bocah kecil Zaid bin Haritsah. Sebenarnya Su’da sudah berusaha mati-matian melindungi anaknya, namun apa daya para perampok Badui yang ganas mengambil Zaid dari dekapannya dengan paksa. Su’da diancam dengan pedang, lalu dia dipukul dan didorong hingga jatuh terjerembab ke tanah.
Zaid yang direnggut dari ibunya tentu saja berusaha memberontak. Dengan sekuat tenaga dia meronta dan menjerit. Kedua tangannya memukul-mukul sekenanya, sementara kedua kakinya menendang sekuat-kuatnya. Tetapi apalah arti rontaan, pukulan, dan tendangan seorang bocah kecil bagi seorang perampok dewasa yang kuat lagi ganas. Tanpa kesulitan, Zaid pun dibawa paksa oleh para perampok itu. Sementara Su’da hanya bisa menangisi ketidakberdayaannya. Su’da menjambaki rambutnya sendiri sambil menangis sejadi-jadinya, pertanda bahwa dia sangat menyesali kejadian itu dan menyalahkan dirinya yang tidak bisa menjaga amanat suaminya. Kesedihan dan penyesalan yang tidak terperikan itu membuat Su’da jatuh pingsan.
Setelah sadar dari pingsannya, Su’da memutuskan untuk segera pulang ke kampung halamannya. Dia merasa harus menyampaikan berita ini secepatnya kepada Haritsah. Dia tidak ingin Haritsah mengetahui kabar itu dari orang lain. Segera Su’da berkemas, kemudian berpamitan kepada keluarganya. Dengan berat hati mereka mengizinkan Su’da pulang sambil terus menghiburnya agar tetap sabar dan tabah.
Su’da pulang dengan mengendarai untanya melewati gurun pasir yang sangat panas dan gersang. Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya Su’da tiba di rumahnya. Haritsah berlari keluar menyambut kedatangannya dengan kerinduan seorang suami dan seorang ayah.
“Oh, kamu sudah pulang, Su’da. Tapi mengapa wajahmu tampak sedih? Mana anak kita?” tanya Haritsah demi dilihatnya Su’da datang sendirian tanpa disertai Zaid.
Ditanya begitu oleh suaminya, tangis Su’da meledak. Dengan terbata-bata dan sesekali diiringi isak tangis, dia menceritakan semua kejadian yang dia alami kepada suaminya. Diceritakannya semua kejadian itu dengan runtut, tanpa ditambah maupun dikurangi. Mendengar cerita itu, Haritsah langsung menangis hingga jatuh pingsan.
http://ceritaislami.net/zaid-bin-haristsah-panglima-kesayangan-rasulullah-bagian-pertama/